Pages

foto

foto
sekedar foto

Sabtu, 19 Februari 2011

INTEGRASI KEILMUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM


I. Pendahuluan

Pendidikan Islam merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, sekalipun dalam kehidupan bangsa Indonesia tampak sekali terbedakan eksistensinya secara struktural.[1] Realitas membuktikan bahwa pendidikan agama (islam) dan pendidikan umum selama ini sering diberikan batasan pengertiannya[2] sebagai berikut:

1. Pendidikan agama yaitu penyelenggaraan pendidikan yang memberikan materi atau mata pelajaran agama, sedang pendidikan umum yaitu penyelenggaraan pendidikan yang memberikan materi atau pelajaran umum.

2. Pendidikan agama sebagai lembaga pendidikan pada madrasah atau sejenisnya, sedangkan pendidikan umum sebagai lembaga pendidikan seperti SD, SMP, SMA dan sejenisnya.

Dari batasan tersebut tampak memberikan kesan adanya dikotomi antara bidang studi agama dan bidang studi umum atau adanya perbedaan yang jelas antara sekolah agama dan sekolah umum.

Kenyataan tersebut semakin tampak pula ketika pemerintah melaksanakan dua manajemen pendidikan, yaitu sistem pendidikan yang dikelola dibawah naungan dua kementrian yang berbeda, Kementrian Pendidikan Nasional dan Kementrian Agama. Sekolah dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) berada dalam pengelolaan Kemetrian Pendidikan Nasional. Madrasah atau sejenisnya mulai dari Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah setingkat SD, Madrasah Tsanawiyah (MTs) setingkat SLTP, Madrasah Aliayah (MA) setingkat SMA berada dalam pengelolaan Kemetrian Agama. Dualisme ini berdampak pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat dualistic pula, baik yang menyangkut struktur kurikulum, manajemen, dan tenaga kependidikan[3].

Terjadinya polarisasi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum yang terjadi sampai sekarang ini adalah warisan dari imperialis Belanda yang sengaja memecah belah dan membodohkan umat islam pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pola pendidikan tersebut telah melahirkan dua golongan terpelajar yang terpisah dan berbeda, baik dalam kebiasaan, pergaulan, aspirasinya maupun pola pikirnya yang pada gilirannya dikenal dengan istilah cendekiawan disatu pihak dan ulama’ dipihak lain[4]. Oleh karenanya integrasi keilmuan di bidang pendidikan khususnya pendidikan Islam adalah sesuatu yang diharapkan.

II. Integrasi keilmuan

Konsep integrasi keilmuan dalam pendidikan islam. Menurut Syed Muhammad al Nuquib al-Attas[5], sebagai mana yang dikutip Haidar Putra Dulay (2001), merujuk pada konsep integrasi manusia, ilmu pengetahuan dan universitas dalam pendidikan islam. Menurut al-attas, manusia itu terdiri dari dua kesatuan yang utuh, yakni jiwa dan raga, ia sekaligus ujud fisik dan ruh. Dia diajari Allah untuk mengetahui nama-nama sesuatu dan itu merupakan symbol dari ilmu pengetahuan. Pengetahuan tersebut adalah yang dapat ditangkap oleh panca indera dan dipahami oleh akal budi. Disamping itu, manusia juga diberi pengetahuan tentang Allah (ma’rifat), keesaanNya yang mutlak, bahwa Allah adalah tuhannya, obyek penyembahan yang sejati. Letak pengetahuan manusia itu terdapat pada ruh, jiwa (an-nafs), hati (al-qalb) dan akal (al-‘aql). Dengan pengetahuan seperti itu manusia terikat dalam perjanjian (msitaq) yang menentukan sikap dan hubungannya dengan Allah. Allah juga melengkapi dengan alat yang dapat membedakan yang benar dan yang salah, dan menunjukkan kepadanya apa yang benar dan salah.

Manusia juga mempunyai dua jiwa, yang tertinggi adalah jiwa rasional (al-Nafs al-Natiqah), dan yang terendah adalah jiwa hewan (al-Nafs al-Hayawaniyah). Jiwa rasioanl itulah yang mengetahui Allah dan dia mesti unggul dari al-Nafs al-Hayawaniyah dan dapat membimbing dan memeliharanya.

Hakikat pengetahuan menurut al-Attas bertolak dari pandangan bahwa semua pengetahuan datangnnya dari Allah. Penggolongan pengetahuan itu berdasarkan kepada kenyataan bahwa manusia itu memiliki jiwa, sedangkan yang kedua adalah kelengkapan yang dapat digunakan untuk mengejar tujuan pragmatis di dunia. Pengetahuan pertama diberikan Allah melalui wahyu kepada manusia lewat Al-Qur’an.

Pengetahuan jenis pertama menyingkap misteri wujud dan eksistensi serta mengungkap hubungan sejati antara diri manusia dan Tuhannya. Pengetahuan ini pada akhirnya tergantung pada rahmat Allah dank arena itu menuntut perbuatan dan amal pengabdian kepada Allah sebgai prasarat bagi penyampaiannya. Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa supaya pengetahuan itu dapat dicapai maka pengetahuan tentang prasarat (knowledge of the prerequuisities) menjadi perlu. Dan ini meliputi pengetahuan tentang unsur-unsur dasar Islam (Islam, Iman dan Ikhsan).

Dengan demikian setiap muslim harus memiliki pengetahuan prasarat tersebut. Harus mempunyai pengetahuan terhadap kitab suci Al-Qur’an, kehidupan Rasulullah, Sunah Nabi serta mempraktekkan pengetahuan itu berdasarkan perbuatan dan amal. Sehingga, setiap muslim harus siap berada pada tingkat permulaan dari pengetahuan pertama dan siap bergerak diatas jalan lurus yang membawanya kepada Allah. Kemajuannya yang lebih jauh tergantung atas pengetahuannya sendiri, kekuatan dan kemampuan intuitif, serta ketulusan maksud dan perbuatannya.

Adapun jenis yang kedua adalah pengetahuan tentang ilmu-ilmu (‘ulum) yang diperoleh dari pengalaman, pengamatan dan penelitian. Hal ini ditempuh lewat penyelidikan dan perenungan rasional. Kelompok ilmu pertama wajib diketahui oleh setiap muslim (fard ‘ayn), sedangkan kelompok ilmu kedua tergolong fard kifayah.

Sedangkan menurut hasil konferensi dunia tentang pendidikan islam yang telah dilangsungkan di Mekkah tahun1977, di Islamad tahun 1980 tentang kurikulum, di Dhaka tahun 1981 tentang buku teks dan tahun 1982 di Jakarta tentang Metodologi[6]. Menurut hasil konferensi itu yang rumusannya juga menggambarkan tentang integrasi ilmu-ilmu umum dan agama, ilmu di terbagi menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu, misalnya Al qur’an dan Sunnah serta semua ilmu yang berasal dari Al Qur’an dan Sunnah. Kedua ilmu-ilmu perolehan (aquired knowledge), termasuk didalamnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan aplikasinya.

Perincian dari kedua macam ilmu pengetahuan (perennial knowledge dan aquired knowledge) adalah sebagai berikut:

Perennial knowledge

a. Al-Qur’an

1. Qira’ah, hafalan dan tafsir

2. Sunnah

3. Sejarah hidup nabi Muhammad, sahabat-sahabat beliau, serta pengikut-pengikut mereka yang mencakup masa awal sejarah Islam

4. Tauhid

5. Ushul Fiqh/Fiqh

6. Bahasa Al-qur’an

b. Al-Qur’an

1. Metafisika Islam

2. Perbandingan Agama

3. Peradaban Islam

Aquired knowledge

1. Imaginative: Seni Islam, architecture, bhasa, sastra

2. Science intellectual: Studi social, filsafat, pendidikan, ekonomi, polotik, sejarah, peradaban, goegrafi, sosiologi, antropologi

3. Ilmu-ilmu kealaman : matematika, statistika, fisika, kimia, astronomi, ruang angkasa

4. Sains terapan

5. Ilmu-ilmu praktis, perdagangan, ilmu administrasi

Untuk mengintegrasikan kedua macam ilmu tersebut, maka Konferensi dunia ke-2 tentang pendidikan Islam telah menyusun subyek-subyek pelajaran pada tingkat dasar, menegah dan perguruan tinggi. Didalam penyusunan subyek-subyek tersebut telah dimasukkan seluruh ilmu yang mesti dikuasai oleh setiap muslim, yakni ilmu-ilmu yang meliputi ilmu-ilmu agam, kealaman, social, humaniora.

Bertolak dari penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hakikat yang sesungguhnya dari Pendidikan islam adalah pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia : ketuhanan, akhlak, akal, jasmani, kemasyarakatan, kejiwaan, keindahan dan ketrampilan. Atas dasar demikian maka rancangan pendidikan islam yang ideal adalah meliputi pembinaan keseluruhan aspek tersebut dalam satu kesatuan utuh, dengan demikian, pemisahan-pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, tentulah tidak sesuai dengan pendidikan islam[7].

Ada dua landasan pokok yang perlu mendapat perhatian didalam pengembangan hakikat pendidikan Islam. Pertama, bersumber dari konsep pendidikan islam itu sendiri, yang menuntut agar seluruh aspek pendidikan mesti dikembangkan dalam diri pribadi seorang muslim, dapat dikembangkan seoptimal mungkin. Kedua, menghadapi kemajuan zaman yang berintikan kemajuan ilmu dan teknologi, yang sudah barang tentu berkaitan dengan bagaimana mempersiapkan generasi muda agar mereka memiliki kemampuan untuk menjawab segala tantangan yang muncul. Karena itu perlu disusun suatu program pendidikan yang mengintegrasikan kedua ilmu tersebut dan mengembangkan seluruh aspek yang terdapat di dalam kurikulum pendidikan islam, yang didalamya meliputi: Rancangan kurikulum, pendidik, lembaga/penyelenggara pendidikan dan keterpadun lingkungan pendidikan.

Pengintegrasian antara ilmu-ilmu agama dan umum di Indonesia telah dilaksanakan dengan beberapa cara[8]:

a. Memasukkan mata pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum, dan mata pelajaran umum ke pesantren dan madrasah. Namun praktek yang ada selama ini dirasakan seolah-olah timbul pengklasifikasian ilmu kepada yang pokok dan pelengkap. Sekolah-sekolah menganggap mata pelajaran agam sebagai pelengkap, sedangkan pesantren menganggap mata pelajaran umum sebagai pelengkap, hal ini akan terlihat pada sekolah-sekolah umum negeri dan pesantren-pesantren yang tergolong tradisional.

b. Sekolah umum plus Madrasah Diniyah. Oleh karena mata pelajaran agama di sekolah umum negeri sangat terbatas, dan dirasakan kurang pembekalan ilmu agama kepada peserta didik, maka Departemen Agama membentuk Madrasah Diniyah. Dalam kenyataannya bentuk ini hanya diminati masyarakat pada tingkat dasar sedangkan pada tingkat menengah pertama dan atas (wustha dan ulya) kurang diminati, sehingga cita-cita ideal agar tingkatan ilmu agama peserta didik yang bersekolah pada SLTP dan SLTA umum memiliki kualitas tingkat Madrasah Wustha dan Ulya tidak terpenuhi.

c. Memasukkan konsep Islam untuk Disiplin Ilmu atas upaya Departemen Agama dan dibantu oleh beberapa orang tenaga ahli dari berbagai perguruan tinggi umum, telah disusun buku dalam berbagai bidang disiplin ilmu yang dikaitkan dengan Islam. Cara pendekatan seperti ini disebut Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI). IDI berupaya untuk memberikan konsep-konsep Islam tentang satu disiplin ilmu tertentu. Misalnya Islam untuk disiplin ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Karena upaya ini baru pemula mengenai konsep-konsep Islam untuk ilmu pengetahuan, maka sudah barang tentu untuk masa-masa selanjutnya masih perlu disempunakan.

II. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan Islam tidak dikenal dikotomi keilmuan karena hakikat yang sesungguhnya dari Pendidikan islam adalah pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia : ketuhanan, akhlak, akal, jasmani, kemasyarakatan, kejiwaan, keindahan dan ketrampilan.

Selanjutnya ilmu dikelompokkan menjadi dua dalam artian tidak dapat dipisahkan (terintegrasi). Pertama, ilmu-ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu, misalnya Al qur’an dan Sunnah serta semua ilmu yang berasal dari Al Qur’an dan Sunnah. Kedua ilmu-ilmu perolehan (aquired knowledge), termasuk didalamnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan aplikasinya.

DAFTAR PUSTAKA

AH Sanaky, Hujair, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania, 2003

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999

Putra Dulay, Haidar, Historitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001



[1] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 5

[2] Ibid, …….hlm. 8

[3] Hujair AH Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta: Safiria Insania, 2003) hlm.201

[4] Hasbullah, ……………, hlm. 11

[5] Syed Muhammad al Nuquib al-Attas, adalah guru besar bahasa dan sastra Melayu pada Universitas Kebangsaan Malaysia. Lahir tahun 1931. Memperoleh MA dari McGill University, PH.D dari Scool of Oriental and African Studies, dan menulis sejumlah buku termasuk yang berkenaan dengan pendidikan islam.

[6] Haidar Putra Dulay, …………….., hlm. 153

[7] Ibid, ……..., hlm. 157

[8] Ibid …….., hlm. 156

HADIST AHAD DAN PERMASALAHANNYA

I. PENDAHULUAN

Kedudukan hadist Ahad kerap kali di persoalkan oleh kalangan ulama tertentu dan kalangan ulama lain yang pada masa sekarang berkembang menjadi antar kelompok islam tertentu dengan kelompok islam lain, terkadang dalam kelompok yang samapun terdapat perbedaan dalam memandang kedudukan hadist Ahad ini.

Di zaman globalisasi sekarang ini, ketika arus informasi semakin terbuka lebar dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi dalam hal ini internet, perbedaan pandangan mengenai kedudukan hadist Ahad antar ulama tertentu atau kelompok tertentu dapat secara bebas mereka publikasikan dan kita secara mudah dapat mengaksesnya. Hal ini bisa kita lihat misalnya ketika Hizbut Tahrir membagi hadits mutawatir untuk aqidah dan ahkam, sedangkan hadits ahad dikhususkan untuk masalah hukum[1] langsung mendapat tanggapan dari ulama / kelompok lainnya, demikian juga ketika Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam rumusan pokok-pokok manhaj Majlis Tarjih menyebutkan bahwa: “Di dalam masalah Aqidah (Tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawati“, mendapat tanggapan dari kalangan Muhammadiyah sendiri yaitu dari Majlis Tarjih PCIM Kairo[2].

Perbedaan pandangan mengenai kedudukan hadist ahad ini sebenarnya terjadi tidak pada zaman sekarang saja, jangankan hadist ahad, hadist itu sendiri sebagai sumber hukum islam sejak zaman dulu ada yang mempersoalkan. Imam Syafi’i yang digelari Nasyir al-Hadis (Pembela Hadist), pernah menyebutkan adanya pendapat yang menolak hadist[3]. Ada juga pendapat yang menerima hadist hanya yang Muttawatir, selain hadist-hadist mutawatir mereka enggan mengamalkannnya atau bahkan menolak dengan dalih bahwa Al Qur’an sudah cukup sebagai sumber yang bersifat universal dan umum, tentu saja pendirian serupa ini tidak dapat dinilai sebagai tidak berharga karena ia lahir dari ulama-ulama kalangan Islam sendiri[4].

II. PERMASALAHAN

Dari uraian diatas, makalah ini mencoba mengurai permasalahan sebagai berikut:

1. Apa yang disebut dengan hadist ahad? mengapa hadist diklasifikasikan menjadi ahad?

2. Bagaimana pandangan ulama’ mengenai hadist ahad dan apa permasalahannya?

III. PEMBAHASAN

Untuk mengetahui apa yang disebut dengan hadist ahad kita tidak bisa terlepas dari pengertian hadist itu sendiri dan apa saja unsur-unsur dari hadist.

Hadist menurut ahli hadist adalah segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari Nabi SAW berupa ucapan, perbutan, takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan), maupun diskripsi sifat-sifat Nabi SAW. Agar hadist dapat sampai ke kita mengandung tiga unsur: yang meriwayatkan (rawi), sandaran (sanad), dan teks (matan) hadist itu sendiri.

Rawi (jamaknya ruwat) ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadist yang pernah didengarnya atau diterima dari seseorang (gurunya), menyampaikan hadist disebut merawikan hadist. Seringkali sebuah hadist diriwayatkan oleh bukan hanya satu rawi tetapi tetapi oleh banyak rawi. Dari segi jumlah rawi inilah ada dua bentuk pembagian hadist. Bentuk pertama terdiri atas hadist mutawatir dan ahad. Bentuk kedua terbagi atas mutawatir, masyhur dan ahad. Pembagian lebih praktisadalah bentuk pertama karena pada dasarnya hadist masyhur tercakup dalam hadist ahad, yang terbagi atas masyhur, aziz dan gharib.[5]

Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap sanadnya, yang menurut tradisi mustahil mereka bersepakat untuk berdusta dan karena itu diyakini kebenarannya. Para ulama’ sepakat bahwa hadist mutawatir wajib diamalkan dalam seluruh aspek, termasuk bidang akidah. Sedangkan hadist ahad adalah hadist yang tidak memenuhi (mencapai) syarat-syarat mutawatir didalamnya tercakup hadist masyur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih, hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada satu tabaqatnya, sekalipun setelah itu diriwayatkan pula oleh sejumlah rawi, sedangkan hadist garib adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat hanya satu orang rawi, dimanapun sanad itu terjadi.

Tentang kedudukan hadist ahad, menurut Abu Hanifah (Imam Hanafi), kalau rawinya orang-orang adil, dapat dijadikan hujah hanya pada bidang amaliah, bukan pada bidang akidah dan ilmiah. Menurut Imam Malik, hadist ahad dapat digunakan untuk menetapkan hokum-hukum yang tidak dijumpai dalam Al Qur’an dan harus didahulukan dari kiyas zanni (tidak pasti). Menurut Imam Syafi’I hadist ahad berfungsi sebagai hujah apabila rawinya memiliki empat syarat, yakni berakal, dabit (memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki), mendengar langsung dari nabi SAW, dan tidak menyalahi pendapat para ulama’ hadist.

Berikut ini diberikan contoh hadist-hadist ahad[6]. Contoh pertama hadist ahad dari Shahih Bukhari, yaitu sebuah hadits ahad dan gharib.

لكل امريء ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

Sesungguhnya amal itu dangan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan (Muttafaqun ‘alaih).

Hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.

Contoh kedua, yaitu hadits nomor 7, yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang, berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius. Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah. Diantaranya, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan

ماذا يأمركم قلت يقول اعبدوا الله وحده ولا تشركوا به شيئا واتركوا ما يقول آباؤكم ويأمرنا بالصلاة والصدق والعفاف والصلة

Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu Sufyan) menjawab, ‘Muhammad mengatakan. ‘Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dangan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian’. Muhammad (juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali silaturrahim…

Apakah yang dimaksudkan dalam hadits ini bukan aqidah? Demikian ini aqidah, dan hadits ini juga merupakan hadits ahad dan bukan mutawatir. Bahkan dalam hadits yang mulia ini tercapat surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yaitu:

بسم الله الرحمن الرحيم من محمد عبد الله ورسوله إلى هرقل عظيم الروم سلام على من اتبع الهدى أما بعد فإني أدعوك بدعاية الإسلام أسلم تسلم يؤتك الله أجرك مرتين فإن توليت فإن عليك إثم الأريسيين و يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم أن لا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون

Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Hirakla (Hiraklius) pembesar Romawi, keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk, amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dangan ajakan Islam, islamlah! Engkau pasti akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu balasan dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa-dosa rakyatmu. (Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam membawakan ayat, yang artinya.) Katakanlah. “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dangan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagal llah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka . “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS Ali Imran:64).

Surat ini mengajak Hiraklius untuk masuk Islam, kembali ke agama tauhid. Dalam hadits ini terkumpul masalah akhlak, hukum, aqidah dan sebagainya.

Contoh ke tiga, hadits nomor 8 di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi yaitu dari jalan Ibnu Umar,

قال رسول الله صلى الله عليه وآل وسلم : بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمد ا رسول الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وحج البيت ، وصوم رمضان

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa ramadhan (dalam riwayat lain puasa ramadhan baru haji).

Hadits ini telah disepakati oleh para ulama dan diterima dari zaman ke zaman Hadits ini menjelaskan tentang rukun-rukun Islam, dan diawali dangan syahadat.

Contoh ke empat, yaitu hadits nomor 9, di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini, selain ahad juga gharib, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الإيمان بضع وستون شعبة

Dari Nabi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘iman itu ada enam puluh cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman.

Hadits ini menjelaskan tentang cabang keimanan, Yakni, iman itu mempunyai enam puluh cabang lebih. Dan di riwayat Imam Muslim,

الإيمان بضع و سبعون أو بضع وستون شعبة فأفضلها قول لا إله إلا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق والحياء شعبة من الإيمان

iman itu tujuh puluh cabang lebih, Yang paling tinggi adalah ucapan laailaha illallaah, dan, yang paling rendah ialah menyingkirkan, gangguan dari jalan, dan malu merupakan, salah satu cabang iman.

Hadits ini juga berbicara tentang aqidah, hukum, akhlak dan adab, seperti menghilangkan gangguan dari jalan. Padahal ini merupakan hadits ahad dan gharib.

Contoh ke lima, hadits yang ke 14 dan 15. Yaitu kecintaan kepada Rasulullah dan cara mencapai kesempurnaan cinta kepadanya. Diriwayatkan dari jalan Abu Hurairah

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فوالذي نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak akan beriman (sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampal aku lebih dicintal daripada bapak dan anaknya.

Dan hadits nomor 15, dari jalan Anas:

قال النبي صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, Tidak akan beriman (tidak akan sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampal aku lebih dicintal daripada bapak dan anaknya dan semua orang.

Ini juga berbicara tentang aqidah.Contoh ke enam, hadits nomor 16, tentang kelezatan atau manisnya iman yang dapat dirasakan oleh seseorang. Diriwayatkan dari Anas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam

ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار

Ada tiga hal, jika ketiganya terkumpul pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman; (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dicintal daripada selain keduanya, mencintal seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilempar kedalam api neraka.

Hadits ini juga berbicara tentang cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan juga keimanan. Bahwa iman itu punya rasa.

Contoh tujuh, hadits nomor 26.

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل أي العمل أفضل فقال إيمان بالله ورسوله قيل ثم ماذا قال الجهاد في سبيل الله قيل ثم ماذا قال حج مبرور

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau: menjawab, Iman kepada Allah dan RasulNya. ” Kemudian ditanya lagi, Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, Jihad dl jalan Allah’. Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau menjawab, Haji yang mabrur ‘

Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang iman. Bahwa iman itu masuk dalam bagian amal, dan amal itu masuk dalam bagian iman. Oleh karena itu, Imam Bukhari memberikan Bab : Man Qaala Annal Iman Huwal Amal, bahwa amal itu masuk dalam iman. Sehingga, ketika Nabi ditanya tentang amal yang paling afdhal, Beliau menjawab iman kepada Allah.Hadits ini telah diterima oleh semua ulama Ahlus Sunnah untuk menetapkan, bahwa amal itu masuk dalam bagian iman. Yang tentunya akan menjelaskan kepada kita, bila iman itu bisa bertambah karena perbuatan ta’at, dan bisa berkurang karena perbuatan maksiat.

Contoh ke delapan, hadits nomor 32, darijalan Abdullah bin Mas’ud.

لما نزلت { الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم } قال أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أينا لم يظلم فأنزل الله { إن الشرك لظلم عظيم }

Ketika turun firman Allah (yang artinya) Orang­-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dangan kezhaliman (syirik), mereka Itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (OS. Al An’am 82), para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata, Siapakah diantara klta yang tidak berbuat zhalim?’ lalu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar.

Ketika ayat Al An’am 82 diturunkan, para sahabat merasa susah dan berat. Mereka mengatakan, siapakah diantara kita yang tidak menzhalimi dirinya? Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan kepada mereka, bahwa bukan itu yang dimaksud; tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya? Jadi zhulm (kezhaliman) di sini, maksudnya adalah syirik. Ini juga berbicara tentang aqidah, antara tauhid dan syirik.

Contoh ke sembilan, hadits no. 39, dari Abu Hurairah

إن الدين يسر

Sesungguhnya agama ltu adalah mudah

Ini juga berbicara tentang aqidah, bahkan berbicara tentang agama ini secara keseluruhan. Bahwa ajaran Islam, pengamalan dan dakwahnya adalah mudah.

IV. KESIMPULAN

Pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, memang ada dalam kaidah ilmu hadits. Namun perlu diketahui, bahwa para ulama membagi hadits menjadi mutawatir dan ahad bukan untuk menolak hadits.

Pembagian itu merupakan tinjauan ilmiah, berdasarkan jumlah (banyak atau sedikitnya) perawi yang meriwayatkannya. Sebagian tinjauan mereka berdasarkan shahih dan lemahnya suatu riwayat.

Berdasarkan jumlah perawinya, jika perawi suatu hadits itu banyak, maka para ulama mengatakan bahwa hadits itu mutawatir, meskipun mereka masih berbeda pendapat tentang batasan banyak atau sedikit. Juga ada definisi lain tentang mutawatir ini, yaitu jika hadits tersebut diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama. Definisi ini dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Adapun hadits ahad, yaitu hadits di bawah mutawatir. Mereka membagi menjadi:

1. Hadist masyur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih

2. Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada satu tabaqatnya, sekalipun setelah itu diriwayatkan pula oleh sejumlah rawi,

3. Hadist garib adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat hanya satu orang rawi, dimanapun sanad itu terjadi.

Ini semua termasuk dalam bagian hadits ahad. Maka disini ada pembagian hadits menjadi hadits shahih, hasan dan dha’if. Sedangkan untuk menentukan termasuk bagian dari shahih, hasan tau dhoif tentu saja kita juga harus melihat sebuah hadist dari unsur hadist yang lain sandaran (sanad), dan teks (matan) hadist itu sendiri.

PUSTAKA

1. Ambary, Hasan Muarif dkk, Ensiklopedi Islam Vol 2, Jakarta, PT Icthtiar Baru van Hoeve, 2003

2. http//www.abusalma/wordpress.com 2006 10 05 hadits-ahad-dalam-bukhari.htm

3. http://www.ahmadzain.com/hadits-ahad-hujjah-dalam-akidah-mengkaji-ulang-rumusan-majlis-tarjih-Muhammadiyah-1929 on 24-11-2010 13:28



[1] http//www.abusalma/wordpress.com 2006 10 05 hadits-ahad-dalam-bukhari.htm

[3]Ambary, Hasan Muarif dkk, Ensiklopedi Islam Vol 2, Jakarta, PT Icthtiar Baru van Hoeve, 2003, h.48

[4] Ambary, Ensiklopedi………. h.48

[5] Ambary, Ensiklopedi………. h.50

[6] http//www.abusalma/wordpress.com 2006 10 05 hadits-ahad-dalam-bukhari.htm